Pernyataan Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, mengenai pengakuan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, telah menjadi sorotan utama dalam diskusi di parlemen Belanda mengenai kajian dekolonisasi tahun 1945-1950 yang berlangsung pekan lalu.
Sebagai informasi, Belanda sebelumnya mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949, sesuai dengan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diadakan di Den Haag.
Namun, apa dampak dari pengakuan ini terhadap Indonesia?
Menurut Aleksius Jemadu, seorang Guru Besar hubungan internasional dari Universitas Pelita Harapan, pengakuan tersebut sebenarnya tidak memiliki dampak signifikan bagi Indonesia. Hanya saja, hubungan antara Indonesia dan Belanda tidak lagi dapat ditempatkan dalam konteks yang lebih tinggi seperti yang terjadi pada era IGGI (Intergovernmental Group on Indonesia) di masa lalu. IGGI sendiri adalah kelompok antarpemerintah yang didirikan pada tahun 1967 oleh Amerika Serikat dengan tujuan untuk mengoordinasikan dana bantuan multilateral kepada Indonesia.
Lebih lanjut, Aleksius menyatakan bahwa saat ini Indonesia semakin sejajar dengan negara-negara maju. Hal ini menunjukkan bahwa pengakuan kemerdekaan oleh Mark Rutte sebenarnya tidak memiliki dampak yang besar terhadap kedudukan Indonesia dalam kancah hubungan internasional.
Namun, Hikmahanto Juwana, seorang Guru Besar hubungan internasional lainnya, memiliki pandangan yang berbeda. Bagi Hikmahanto, pengakuan yang dilakukan oleh Rutte sebenarnya mencerminkan pengakuan dari Belanda terhadap perjuangan panjang bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan, bukan hanya sebuah pemberian dari negara-negara Eropa.
Hikmahanto juga menjelaskan bahwa pengakuan ini mengungkap fakta bahwa serangan senjata yang dilakukan oleh Belanda bukanlah tindakan kepolisian atau upaya untuk menumpas pemberontakan semata. Lebih lanjut, serangan tersebut merupakan bentuk agresi dari satu negara terhadap negara lain. Pendapat ini menunjukkan bahwa pengakuan Rutte sebenarnya menyoroti aspek kekerasan yang terjadi selama periode tersebut.
Ada beberapa pihak yang berpendapat bahwa serangan senjata yang dilakukan oleh Belanda bertujuan untuk menjaga keamanan di Indonesia. Namun, Belanda sendiri enggan mengakui peristiwa-peristiwa tersebut sebagai kejahatan perang atau tindakan ekstrem. Mereka merujuk pada Konvensi Jenewa tahun 1949 sebagai dasar argumen mereka.
Menariknya, Rutte bahkan menyatakan bahwa peristiwa yang terjadi antara tahun 1945-1959 terjadi sebelum Konvensi Jenewa. Oleh karena itu, ia tidak setuju dengan pengklasifikasian peristiwa-peristiwa tersebut sebagai kejahatan perang secara yuridis.
Dengan pengakuan ini, hubungan antara Indonesia dan Belanda mengalami perubahan. Pengakuan kemerdekaan oleh Mark Rutte memainkan peran penting dalam mengakui perjuangan bangsa Indonesia dan juga dalam menyadari fakta bahwa tindakan yang dilakukan oleh Belanda pada masa lalu bukanlah semata-mata tindakan kepolisian, melainkan merupakan agresi negara terhadap negara lain.
Dalam kesimpulannya, pengakuan ini memiliki signifikansi yang berbeda bagi setiap individu. Bagi Indonesia, hal ini menegaskan perjuangan panjang mereka dalam meraih kemerdekaan. Bagi Belanda, pengakuan ini menunjukkan keinginan mereka untuk mengakui kesalahan masa lalu dan memperbaiki hubungan dengan Indonesia. Sebagai negara yang semakin maju, Indonesia semakin diperhitungkan dalam kancah hubungan internasional, dan pengakuan ini semakin menguatkan kedudukan mereka di mata dunia.